Hai Sahabat Virtues!

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Robbinson and Bryan T dengan judul “The Rise and Grind Of Hustle Culture” , Hustle Culture atau budaya kerja terus-terusan sebenarnya sudah ada sejak sebelum diberlakukannya Undang-Undang Keselamatan Kerja untuk mengeksploitasi pekerja agar tunduk pada kondisi kerja yang tidak manusiawi, seperti lingkungan kerja yang yang berbahaya, upah kerja rendah, dan jam kerja yang panjang.

Namun kini, Hustle Culture sudah menjadi lifestyle dan personal branding di kalangan millennials. Sekitar 45% orang khususnya pekerja dengan bangganya sering memposting setiap kegiatannya itu ke sosial media untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang produktif dan memiliki komitmen terhadap pekerjaannya. “Makin lo sibuk, makin lo sukses dan keren”. Mendukung ide bahwa “always-on” itu keren hingga berprinsip “No breaks. No leisure. No weekends off. No vacations. No sleep.” 

 

Jelas bahwa sosial media berperan besar dalam membentuk Hustle Culture ini. Rata-rata orang memeriksa ponsel sebanyak 46 kali per hari  menghabiskan hampir 5 jam per hari untuk berseluncur di sosial media. Seorang konsultan perusahaan teknologi, Bernie Klinder berpendapat bahwa “Jika anda memiliki teman yang kompetitif, bahkan mereka tetap bekerja pada hari libur, hal tersebut membuat Anda terlihat seperti pemalas”. Dari melihat kehidupan orang lain, persaingan yang meningkat kemudian terbentuk dan berkontribusi pada persepsi yang salah tentang “Favorability”. Bahwa setiap orang memiliki ketertarikan dan kesukaan yang berbeda-beda. 

Hustle Culture juga semakin di glamourized sejak era Start-Up. Banyak orang kemudian terobsesi ingin menjadi seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Elon Musk, Gary Vaynerchuk  dan kawan-kawannya. Fenomena Work From Home juga menjadi alasan munculnya Hustle Culture, dimana seseorang tidak lagi memiliki batasan antara bekerja dan bersantai di rumah. Makin banyaknya opsi pekerjaan yang bisa dikerjakan secara remote working juga memicu munculnya Hustle Culture karena memungkinkan untuk bekerja kapanpun dan dimanapun.

Kemunculan Hustle Culture juga terjadi di dunia Corporate, dimana yang seharusnya bekerja 9 sampai 5 jadi sering kerja lembur. Fenomena lembur di luar jam kerja sudah biasa kita saksikan di sekitar kita. Orang nongkrong di cafe bukan untuk berbincang dengan teman tetapi menyelesaikan pekerjaanya, Makan sambil checking email dan masih banyak hal lain.

Dalam dunia Corporate, Hustle Culture bisa dianggap sebagai hal negatif karena dianggap sebagai hasil dari tidak adanya dukungan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) dan dukungan yang diberikan di tempat kerja akibatnya banyak pekerja yang mengalami burnout (kelelahan akibat bekerja). Antara Hustle dan Burnout saling berkesinambungan. Orang bekerja terlalu keras demi memenuhi ekspektasi perusahaannya dan dia merasa belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut sehingga ia harus terus hustle. Sehingga komunikasi yang proaktif dengan tim dan pemimpin sangat dibutuhkan disini demi menjaga efektivitas pekerjaan.

Apakah kamu salah satu penganut pekerja Hustle Culture Sahabat Virtues? Harus di imbangi dengan work life balance ya!